DARI PURA ADITYA JAYA* Pura Aditya Jaya, Rawamangun, ternyata menyimpan magnit yang tak hanya menarik ribuan umat Hindu Jakarta dan sekitarnya. Pengunjung umum yang beda keyakinan pun ikutan menikmati kenyamanan Pura Hindu terbesar di Metropolitan Jakarta. *
Dari arah barat By Pass/jalan Tol Cawang-Tanjung Priok, tak terlihat sosok bangunan Pura Aditya Rawamangun yang terkenal itu. Sejauh mata memandang yang tampak didepan kita tonjolan Kubah Masjid At-Takwa yang posisinya persis disamping Pura Aditya.
Pada hari-hari biasa, umat Hindu maupun pengunjung umum lainnya diarahkan melalui pintu masuk dari jalan Daksinapati Raya 10, tak jauh dari Lapangan Golf Rawamangun Muka, Jakarta Timur. Tetapi pada hari-hari tertentu semisal pada upacara keagamaan Hari Raya Galungan dan Kuningan, Hari Purnama Tilem, Waisak, Nyepi dll, pengunjung dipersilahkan masuk melalui pintu gerbang yang menganga lebar. Dari gerbang itulah sejumlah besar pengunjung yang berlipat ganda, tumplek-blek memenuhi seluruh areal Pura.
Pintu gerbang tersebut memang hanya dibuka pada hari-hari besar upacara keagamaan. Ditambah dua pintu lainnya yang selalu dibuka pada hari-hari biasa. Sehingga pengunjung, leluasa masuk tanpa hambatan. Dan lagi Pintu gerbang utama, letaknya strategis berhadapan langsung dengan By Pass atau jalan Tol Cawang-Tanjung Priok, Sehingga memudahkan pengunjung berkendaraan roda empat, langsung masuk lapangan parkir yang menganga lebar.
Pada upacara besar keagamaan yang berlangsung enam kali dalam setahun, menjadi ajang umat Hindu bersembahyang secara berjamaah. Bahkan sejumlah pengunjung umum seperti wisatawan lokal maupun internasional tertarik untuk menikmati suasana yang sungguh memikat di samping kenyamanan areal Pura Aditya yang sudah banyak dikenal orang asing.
Nyepi & WaisakUpacara keagamaan Hari Raya Nyepi belum lama ini berlangsung pada 31 Maret 2014 (Saka 1936). Munyusul upacara Hari Raya Waisak, tanggal 15 Mei 2014. Seperti biasa, Umat Hindu datang berbondong-bondong ke Pura Aditya Jaya melaksanakan ibadah Nyepi bersama seluruh anggota keluarga. Ada pula sejumlah rombongan besar datang menumpang Bus sewaan. Utamanya melaksanakan ibadah selain bertemu dengan handai taulan, dan warga Bali lainnya yang tinggal di Jakarta.
Menurut I Gusti Kompiang Suwanda, melaksanakan upacara ritual Nyepi boleh saja dilakukan dirumah masing-masing. Tetapi umumnya umat Hindu di Jakarta lebih senang memilih tempat upacara keagamaan di Pura Aditya Jaya yang dirasakan lebih tenang dan damai. Suasananya seperti berada dikampung halaman (Bali).
Pada upacara keagamaan dihari raya Nyepi, mereka tenggelam dalam nuansa keprihatinan, berdoa membasuh dosa, dsbnya. Disepanjang siang dan malam, tidak dibenarkan menikmati kesukacitaan atau menikmati cahaya terang yang ditimbulkan oleh cahaya matahari atau benderang (listrik) Juga disiang hari selagi Nyepi harus tetap berasa didalam rumah yang tertutup. Tidak menyalakan alat penerangan apapun seperti listrik, lilin, lampu teplok. dsb-nya.
Sumber KeheninganDalam filosofi Tri Hita Karana, dikaitkan hubungan harmonis antara manusia dan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan. Itu yang menyebabkan kebahagiaan, ungkap Prof. Arysio Santos, yang dilansir salah satu media cetak terbitan Jakarta, belum lama berselang. Dikatakan jauh didalam batinnya mengalir keheningan yang melumuri kasih sayang kejujuran dan persaudaraan. Itulah sebabnya setiap saat kita perlu berhenti sejenak, merenungi suara batin kita masing-masing, lalu meneguk air kesadaran dari sumber keheningan.
Hal seperti itu tak jauh beda dengan keyakinan umat Islam misalnya. Kekhusyukan dan keheningan menjadi mata rantai penghubung antara manusia dan manuisia, juga manusia dengan Allah. Disuasana sunyi saat hamba Allah menjalani ibadah Sholat Tahajud dimalam hari, menyembah Allah. Hal ini dapat dilakukan tiap saat tiap malam hari yang dilakukan pada tengah malam yang sunyi, damai dan tenteram. Tak lain memohon ridho Allah memberikan pengampunan, keselamatan hambanya. Di samping melakukan zikir (ingat) selalu kepada Yang Maha Kuasa agar ketenteraman dan kedamaian senantiasa berlabuh dihati manusia.
Menarik memang. Umat Hindu berkumpul di Pura Aditya yang disebut Madya Mandala atau Jaba Tengah. Disitulah umat Hindu berada tak luput dari suasana yang beda dengan hari-hari biasa. Semua berada dalam suasana hening, damai dan tenang, senyap dan sakral. Dalam suasana seperti itulah saat yang baik dan tepat untuk mencuci/membersihkan dosa atau membuang jauh kebiasaan bertindak buruk, kesombongan, dan kejahatan. Tepatnya, mengembalikan diri kita menjadi orang yang tanpa dosa, seperti diawal pertama manusia itu dilahirkan didunia fana.
Ruang suci nan sejuk tanpa alat pendinginRuang suci Pura Aditya merupakan ruang utama untuk bersembahyang dan bersemedi. Siapapun yang masuk keruang suci wajib memakai selendang kain panjang warna kuning. Dililitkan dibagian perut. Ruang suci digunakan juga untuk berbagai upacara ritual keagamaan.
Sedangkan wilayah luar Pura disebut Nista Mandala atau Jaba Sisi. Diluar Pura terdapat Rumah Tunggu atau Bangsal. Sebagai ruang tunggu bagi umat Hindu yang harus bersabar menunggu giliran masuk ke Pura Aditya untuk melaksanakan ibadah.
Diluar Pura juga terdapat. sederet kantin. Menjajakan makanan dan minuman guna memanjakan selera pengunjung. Juga hidangan berupa makanan khas Bali, sebagai upaya merawat kearifan tradisi warisan dari nenek moyang, Selain jenis makanan lainnya yang bisa disantap oleh umum. Masih di Jaba Sisi (luar Pura Utama), terdapat Toko Buku, menyediakan buku-buku tentang ajaran agama Hindu, terdapat pula Bale Gede dan dapur.
Taman sepanjang jalan.Sekitar Pura ditumbuhi berbagai tanaman pelindung terik matahari. Disitu tumbuh sebatang pohon Beringin besar. Juga taman hijau. Bukan mustahil beringin punya jenggot panjang, menjulur kebawah hampir menyentuh tanah. Rimbun daunnya mengayomi bagian bawah hingga cuaca panas tak sempat menyebarkan hawa panas. Menjadikan disekitarnya terasa sejuk.
Bagian batang beringin paling bawah, tampak dihias kain poleng hitam putih. Di lilitkan dibatang bagian bawah. Diseputarnya ada berbagai ragam tanaman hias berbunga warna-warni yang melebar disepanjang kanan-kiri jalan menuju pintu masuk Gerbang Pura Aditya.
Semua itu memungkinkan bagian dalam maupun diluar Pura menjadi sejuk dan nyaman. Kendati pun jarum lonceng menunjukan waktu disiang bolong, tetapi diseputar itu terasa sejuk menyegarkan. Pepohonan berdaun rindang tertiup angin basah merubah hawa panas Jakarta yang menyengat menjadi sejuk. Makin sore menjadikan hawa disekitar bertambah nyaman. Itulah kemurahan Tuhan Sang Pencipta alam semesta menjadi sahabat manusia.
Siraman udara sejuk tak hanya dinikmati diluar Pura, tetapi juga dibagian dalam Pura hanya beratap langit atau open air (terbuka) membawa keberuntungan bagi siapa saja yang sedang berada dibagian dalam Pura yang juga terasa sejuk dan nyaman.
Pagar PuraMeskipun ruang utama Pura yang disucikan hanya dipagari dinding pengaman berupa dinding yang ukuranya tidak begitu tinggi. Namun memunculkan keelokan yang serba alami. Betapa keanggunan bangunan beberapa Candi yang ada didalam Pura begitu sangat menarik, indah enak dipandang mata. Itulah pangkal kelebihan arsitektur tradisi lokal/kuno yang bikin mulut orang berdecak.
Begitu pula pagar dinding yang melingkari Pura tidak terlalu tinggi. Tetapi tetap berfungsi agar pengunjung tidak bisa sembarang masuk dari arah manapun. Kecuali harus melewati pintu khusus yang disebut gerbang Pura yang dibangun sedemikian indah dan berwibawa. Gerbang Pura tak begitu lebar tetapi fashad atau bentuk bangunan gerbang itu jangkung berciri khas ornamen ukiran Bali nan elok.
Jalan kakiJarak menuju pintu masuk gerbang Pura dari arah pintu timur (jalan Daksinapati Raya 10 Rawamangun Muka), tidak terlalu jauh. Cukup ditempuh dengan berjalan kaki. Sepanjang jalan yang kita lewati ditumbuhi ragam tanaman hias berbunga warna-warni menggugah hati jadi sukacita menyegarkan. Semacam bentangan taman bunga yang memanjang serta pepohonan rindang yang berbaris dikanan kiri jalan menuju Gerbang Pura menambah pemandangan cukup elok. Memberi kenyamanan sehingga pejalan kaki pun betah berlama-lama menikmati alam buatan yang tertata rapi.
Beringin & Kain PolengPohon beringin besar yang tumbuh tak jauh dari Pura. menambah kenyamanan sekaligus mencuatkan dimensi kesakralan disekitar. Bahkan beringin berjenggot panjang menjulur dan menyentuh tanah. Di dibagian bawah batang beringin itu terbalut kain poleng warna hitam-putih, Terkesan seperti orang yang mengenakan kain sarung. Dan lagi-lagi memunculkan keindahan dan kesakrakalan alam sekitar. Dibalik balutan atau selubung kain poleng yang melilit batang bagian bawah pohon besar maupun kecil menurut I Gusti Kompiang Suwanda, pengurus Pura Aditya Jaya, merupakan simbol toleransi manusia terhadap seisi alam semesta ciptaan Tuhan.
Maka sejatinyalah umat manusia wajib memelihara seisi alam, kendati pun pepohonan itu tidak bisa bergerak, tidak bisa bersuara atau tidak dapat berbicara seperti manusia, Tetapi sejatinya benda ciptaan Tuhan itu hidup, ujar I Gusti Kompyang Suwanda. Bahwa manusia sewajarnya bersahabat, toleran/menaruh perhatian kepada alam dan seisinya.
Sedangkan makna kain poleng yang menyelubungi batang pepohonan merupakan symbol bahwa manusia wajib memelihara dan bersabahat dengan alam semesta ciptaan Tuhan, jelas I Gusti Kompyang Suwanda, kepada team kreatif Pusat Kesenian Jakarta – Taman Ismail Marzuki.
Gerbang PuraGerbang atau Gapura Pura Aditya Jaya yang menghubungkan wilayah tengah dan wilayah utama dinamai Kori Agung, memiliki satu pintu utama dan dua pintu tambahan, masing-masing disebelah kiri dan kanan.
Wilayah tengah Pura Aditya Jaya, yang disebut Madya Mandala atau Jaba Tengah, terdapat bangunan bernama Balai Wantilan digunakan untuk mempersiapkan upacara atau perlengkapan yang diperlukan dalam melaksanakan upacara ritual, atau Pujawali. Bangsal Wantilan Pura Aditya Jaya juga dipergunakan sebagai panggung pementasan tari-tarian sakral.
Bung KarnoSejarah didirikanya Pura Aditya Jaya Rawamangun, tidak lepas dari sejarah perjuangan umat Hindu di DKI Jakarta oleh Suka Duka Hindu Bali (SDHB). Kemudian ganti nama menjadi Suka Duka Hindu Dharma (SDHD) atas saran IB Mastra, Dirjen Bimas Hindu dan Budha. Menyusul cita-cita pendirian Pura yang dipertajam dengan mendirikan Yayasan Pitha Maha dibawah pimpinan Ida Bagus Manuaba, anggota Dewan Konstituante, I Gusti Subania, Menteri Koordinator, I Nyoman Wiratha, anggota DPRD DKI Jakarta.
Presiden pertama RI, Ir Soekarno, yang akrab disebut Bung Karno, menyambut baik gagasan membangun Pura, bagi umat Hindu di Jakarta. Oleh karenanya Bung Karno, pada 1960-an menawarkan tanah di Lapangan Banteng kepada umat Hindu untuk beribadah. Tetapi entah apa pasalnya, rencana pembangunan Pura Hindu di lapangan Banteng batal.
Berlanjut tahun 1962-an kembali ditawarkan lokasi baru di Ancol. Namun umat Hindu keberatan, sebab lokasi tersebut pada masa itu berlumpur, berbau anyir. Berbeda dengan keadaan Ancol masa kini dengan Ancol masa lalu. Terutama setelah Ancol disulap oleh pemilik modal dijadikan lahan komersil taman hiburan.
Buah kemenanganSaat umat Hindu Jakarta berharap cemas menunggu batas waktu kapan secepatnya memperoleh lokasi yang tepat untuk membangun Pura di Jakarta. Tanpa diketahui lebih dulu, Ir Sutami, Menteri Pekerjaan Umum, dijaman pemerintahan Bung Karno, menawarkan lokasi baru yang memungkinkan untuk membangun Pura. Pak Menteri dipandang sebagai sosok pejabat negara yang waktu itu dikenal sebagai orang dekat Bung Karno. Lokasi tersebut berada diwilayah Jakarta Timur. Tepatnya dijalan Rawamangun Muka No. 10, tak jauh dari lapangan Golf Rawamangun, Jakarta Timur.
Dibarengi ucapan rasa syukur kepada Tuhan, Yayasan Pitha Maha dan seluruh umat Hindu di Jakarta. Lokasi tersebut sangat tepat untuk pembangunan Pura yang kini bediri megah. Indah dan menyenangkan. Dinamai Pura Aditya Jaya Penggunaan lokasi tersebut dikuatkan oleh Ir. Sutami, yang menerbitkan surat No. 36/KPTS/1976 yang memberi izin untuk menggunakan tanah yang dikuasai Dept. PU cq Ditjen Bina Marga (yaitu tempat Pura Aditya Jaya sekarang, sebagai tempat persembahyangan bagi umat Hindu di Jakarta dan sekitarnya. Pemberian izin oleh Menteri PU didukung oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, yang bijaksana dan berwawasan luas didalam membangun kota Jakarta menjadi Kota Metropolitan.
Pura Aditya Jaya dibangun dalam tujuh tahapan. Pertama dimulai tahun 1972 dan tahap akhir dilakukan tahun 1997. Areal Pura Aditya boleh dibilang cukup luas. Disitu terdapat sejumlah bangunan dan ornament bergaya khas Bali. Suasana Pura juga mirip taman hijau yang terlindung dari sengatan panas matahari karena lebatnya pepohonan rindang disekeliling areal.
Masyarakat pemeluk agama Hindu bersyukur kepada Tuhan, kepada Bung Karno dan beberapa pejabat teras lainnya karena harapan dibangunnya Pura di Jakarta terpenuhi. Terlebih Pura besar itu berada di Jakarta atau Ibukota Negara Indonesia. Pura Aditya Jaya tak hanya digunakan untuk melakukan ritual keagama umat Hindu. Melainkan juga masyarakat umum yang ingin menikmati keheningan dan kedamaian hati didalam sebuah candi ditengah hangar bingarnya kehidupan keras di Kota Metropolitan Jakarta yang dulu pernah dijuluki Kampung terbesar didunia.
(TI PKJ-TIM) ***